Jumat, 28 Februari 2014

Merekonstruksi Jati Diri Bangsa Indonesia

Ilustrasi 1: Penambang belerang di Kawah Ijen, Indonesia. Sumber: The Baltimore Sun.
Indonesia, negeri dengan kekayaan alam yang tiada batasnya. Menjadi Negara maritim terbesar di dunia, dengan panjang pantainya yang mencapai 93.000 km. Tersusun dari gugusan pulau yang terbentang luas dari Sabang hingga Merauke, menjadi permata dunia yang telah diciptakan oleh Tuhan. Penduduk yang telah melebihi angka 220 juta jiwa, dengan komponen pemuda kurang lebih sebesar 30% dari jumlah total penduduk Indonesia. Menjadikan tantangan sendiri bagi pemuda untuk menjaga keutuhan tanah kelahirannya, Indonesia, mengembangkan dan mengembangkan potensi yang ada. 

Pelbagai permasalahan pun timbul sejalan dengan roda kehidupan yang terus berputar. Mulai dari permasalah kecil hingga permasalahan besar yang tak kunjung mereda. Permasalahan pluralisme, pendidikan, ekonomi dan kesehatan, misalnya. Indonesia masih belum tuntas menangani ini semua. Meskipun telah dicanangkan berbagai upaya pengentasan masalah, baik berjangka pendek maupun berjangka panjang. Permasalahan ini bak rumah, memiliki atap yang bocor namun lamban untuk dibenahi, sehingga membuat resah penghuninya saat panas dan hujan datang menyergap. Masalah ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemuda Indonesia, dimana kelak mereka akan menggantikan mereka yang kini berkutat di panggung pemerintahan. Menjadi wakil penampung aspirasi rakyat.

Ketika pemuda ditanya mengenai bagaimana kesanggupan mereka mengemban amanat pemecah tantangan masa depan. Pasti mereka dengan lantang dan serentak akan menjawab:
“Kami siap, namun kami masih belum memiliki bekal —pengetahuan dan pengalaman— guna memimpin masa depan”.

Hal ini dipertegas dengan maraknya permasalahan dari pemuda sendiri yang masih acak-aduk, belum memiliki titik tengahnya. Penggunaan obat-obatan terlarang, seks bebas dan kenakalan lainnya, misalnya. Masih menjadi momok bagi lika-liku kehidupan pemuda di Indonesia. Bila ditilik dari alasan mengapa hingga mereka masuk ke jurang nestapa, sungguh banyak sekali, seperti: pendidikan yang tak memadai, lingkungan yang tak sesuai, dan ekonomi yang tak mencukupi.

Dibalik semua permasalahan ini, seyogyanya terdapat solusi sebagai amunisi persenjataan pemuda dalam menatap masa depan. Menurut pendapat penulis sendiri, amunisi utamanya adalah merekonstruksi jati diri pemuda sebagai bangsa Indonesia yang kini telah mengalami degradasi moral, lupa akan sejarah yang terukir dan jati diri yang telah disemboyankan nenek moyang kita. Rekonstruksi jati diri bangsa Indonesia penting dicanangkan sejak dini. Kembali mengingat tentang keberagaman yang ada di Indonesia, dengan mempertimbangkan persamaan hak dan kewajiban yang setara.

Ilustrasi 2: Semangat pelajar Indonesia dalam mengenyam pendidikan. Sumber: Blogger.

PENDIDIKAN PENENTU MUTU KUALITAS PEMUDA

Dimulai dari pembenahan tatanan pendidikan. Pengawasan aliran dana yang wajibnya disalurkan ke beberapa institusi pendidikan sebaiknya diperketat kembali, agar tidak ada celah dalam penyalahgunaan penyaluran dana. Bantuan Operasional Siswa, misalnya, tak sesuai dengan dana yang digelontorkan dengan realitas yang ada. Ada saja sekolah yang tak memiliki sokongan infrastruktur yang memadai, terkecuali sekolah-sekolah yang mematok biaya selangit bagi peserta didiknya. Diskriminasi si kaya dan si miskin tetap ada, mereka yang kaya akan mengenyam pendidikan yang layak dan mereka yang miskin akan mengenyam pendidikan dalam keterbatasan.

Peningkatan mutu pengajar dikira perlu, memupuk motivasi peserta didik dalam menempuh pendidikan formal di sekolah maupun perguruan tinggi. Dilihat dari fakta di lapangan, banyak tenaga pengajar yang terkesan ‘makan gaji buta’. Kurikulum yang masih belum sesuai dengan kondisi Indonesia yang hidup dalam keberagaman. Misalnya, bila kurikulum Indonesia disetarakan miris nian melihat kondisi pendidikan di pelosok Indonesia yang berat dalam menerima pengetahuan yang setara dengan mereka yang belajar di kota. Kurikulum pun belum spesifik dalam menangkap peluang potensi yang terkandung di Indonesia, mengapa tidak diterapkan kurikulum berbasis maritim di area pesisir mengingat Indonesia pernah memiliki kerajaan maritim terbesar dan terkuat pada masanya –kerajaan Sriwijaya–. Atau kurikulum berbasis perkebunan dan pertanian di area pegunungan mengingat masih banyak petani yang terus dibodohi dan masih hidup dalam garis kemiskinan. Terlepas dari pengelompokkan kurikulum ini, kurikulum umum tetap dijalankan dengan alasan ilmu eksak yang sangat penting dipahami.

Sekolah juga harus mampu menciptakan kegiatan positif bagi pelajarnya. Penyelenggaraan pekan seni budaya, misalnya. Sangat bermanfaat guna menelorkan bibit unggul dalam bidang seni dan budaya, dimana kelak mereka mampu melestarikan dan menjaga khazanah budaya yang ada di Indonesia.

Legalitas institusi pendidikan diperlukan agar kedepannya tidak ada lagi kasus ‘ijazah bodong’ yang meresahkan rakyat, terlebih lagi wakil rakyat yang duduk di singgasana parlemen menggunakan ‘ijazah bodong’ demi jabatan sementara yang sarat akan kepalsuan kepemimpinan.

Namun kita patut berbangga diri, karena masih ada para pengajar muda yang mendedikasikan hidupnya untuk meningkatan mutu pendidikan di daerah pelosok.

Kini hidup kita di abad 21 telah memasuki era yang serba mudah, tapi entah kenapa masih terkesan apa serba kuno. Bila kita dapat mengoptimalkan internet sebagai media pembelajaran, E-Learning merupakan media yang tepat. Sebagai penyalur edukasi yang dapat diakses dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja, asalkan memiliki koneksi internet yang memadai. E-Learning sangat bermanfaat bagi pelajar, mereka dapat belajar tidak hanya dalam kelas saja, duduk dan mendengarkan penjelasan dari guru yang terkesan monoton.


LINGKUNGAN, PEMBENTUK KARAKTER PEMUDA

Dari segi lingkungan –lingkungan tempat tinggal, berteman, bekerja, sekolah, dan alam– membawa pengaruh penting dalam peranan jati diri pemuda dalam menentukan masa depannya. Apalagi bagi mereka yang tak kuat iman, mengalir begitu saja bak air yang tak tahu arah dan tujuannya. Disini peran orang tua sebagai pembekalan awal pemuda, diperlukan peran aktifnya dengan intensif dalam mengawal perkembangan anak hingga mereka dapat mandiri dengan bekal yang bermanfaat dari orang tua. Sebagai contoh, orang tua yang menerapakan sistem disiplin waktu yang kuat menyebabkan di kemudian hari akan terbiasa dengan hidup yang disiplin, sebaliknya orang tua yang menerapkan sistem foya-foya menyebabkan kelak akan terbiasa dengan hidup yang tak ramah lingkungan cenderung hanya menghamburkan uang saja.

Disini iman kita diuji sampai mana kita mampu memegang teguh kebenaran atau malah jatuh dalam jurang kebodohan. Kita patut meniru keteladanan Jendral Hoegeng, mantan pemimpin kepolisian Republik Indonesia, yang gigih dan bersih dalam memberantas korupsi tanpa memandang bulu. Meskipun Jendral Hoegeng sendiri telah makmur dengan tahta yang melimpah, beliau menolak dengan tegas fasilitas yang diberikan oleh Negara.

Lingkungan tempat tinggal, berteman, bekerja dan sekolah yang getol menjadi saran bersosialisasi di masyarakat tak kalah penting. Sama halnya dengan peran orang tua, lingkungan bersosialisasi tergantung pada falsafat yang diterapkan pada suatu lingkungan tersebut. Tak banyak juga orang hebat di Indonesia yang hidupnya berawal dari keterbatasan, sebagai contoh: Jokowi, Dahlan Iskan, dan masih banyak lagi.

Kualitas kepemimpinan dibibit sejak dini. Di lingkungan tempat tinggal dan sekitar, pemuda dapat memumpuk rasa menjadi pemimpinnya di beberapa lembaga sosial masyarakat, seperti karang taruna, remas, dan masih banyak lagi. Di lingkungan sekolah ilmu kepemimpinan dapat dipupuk dari organisasi internal sekolah dan ekstrernal. Baik itu OSIS –Organisasi Siswa Intern Sekolah– maupun ekstrakulikuler yang menunjang penyaluran minat dan bakat yang dimiliki pemuda. Jaman sekarang ini sulit menemukan pemimpin yang benar-benar memiliki passion seorang pemimpin teladan, untung saja masih saja ada sosok seperti Ibu Tri Rismaharini, Walikota Surabaya, yang kekeh dengan kebenaran yang harus ditegakkan demi kepentingan bersama, yakni kepenting rakyat.

Perlu mengingat karakter dan watak seorang pemuda diasah melalui lingkungan dimana ia hidup. Sejauh mana mereka dapat memfilter kondisi lingkungannya merupakan tanggung bersama, tak ada lagi kesan citra buruk suatu kawasan bilamana mereka telah mampu mengakomodasi kekurangan yang ada di kawasan tersebut menjadi suatu potensi yang dapat dibanggakan.

Ilustrasi 3: Taufik Hidayat, pebulu tangkis Indonesia. Sumber: Klikbadminton.

PEMBANGUNAN NASIONAL, BUKAN HANYA IMPIAN

Pembangunan nasional yang belum merata menimbulkan diferensiasi sosial. Yang kaya kian makmur, yang miskin kian hancur. Pelbagai program pemerintah diterapkan disana-sini, mulai dari pengentasan kemiskinan dan optimalisasi kesehatan masyarakat. Indonesia yang telah merdeka enam dasawarsa silam, masih saja sama dengan masa penjajahan. Pembedanya hanyalah, siapa yang menjajah saja. Dulu kita dijajah oleh bangsa lain, sekarang kita dijajah oleh bangsa senidiri bak pagar makan tanaman. Undang-undang yang sebetulnya menguatkan identitas bangsa kini cenderung hanya peraturan yang dianggap sebelah mata, menjadi bumbu pelengkap pemerintahan. Dari sini pula, muncul permasalahan di bidang sosial-ekonomi, seperti pengangguran dan tindak kriminalitas akibat rendahnya ekonomi suatu keluarga.

Penyediaan beberapa modal baik berupa materi maupun non-materi oleh pemerintah bagi penggiat usaha di Indonesia, dari sektor kecil, menengah bahkan besar dalam meningkatkan tingkat ekonomi bangsa. Penggiat usaha besar pun berkewajiban untuk mengayomi mereka yang masih berada jauh di bawahnya. Dengan memfalitasi penggiat usaha kecil di bidang modal produksi, pemasaran hingga publisitas. Sehingga tak ada lagi kesan tertindas dan kalah daya saing bagi penggiat usaha kecil.

Kekayaan alam yang melimpah tak dapat bersinergi dalam pembangunan nasional. Banyak pengusaha asing yang mengeksplorasi alam Indonesia, menjadikannya tuan rumah di negeri orang. Berbeda dengan rakyat yang hanya menjadi buruh, penonton di negerinya sendiri. Pemuda sebaiknya mampu mengembalikan dan mengelola dengan baik alam yang terbentang luas di Indonesia, dengan berprinsip “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Niscaya bumi pertiwi tak akan menangis lagi.

Selain itu, pemerintah juga masih belum dapat mewadahi pemuda yang berprestasi. Masih banyak atlet yang tak dihargai jerih payahnya mengharumkan nama Indonesia di kanca regional, nasional, maupun internasional. Ada saja, atlet yang diperhatikan pada masa produktifnya dan terbengkalai saat masa tuanya yang telah merenggut tenaga dan semangat mudanya. Membuat kesan mantan atlet dipandang remeh oleh pemerintah. Tak hanya atlet, para ahli di pelbagai bidang pun yang rela melancong dan mencoba peruntuhan di negeri orang karena di negeri sendiri mereka tak dianggap dan kurang didukung. Sesuai peribahasa, “Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri”.

Belum lagi birokrasi di Indonesia yang ‘ribet’, entah itu dari kurangnya sosialisasi program pemerintah atau rakyat yang kurang pro-aktif dengan kebijakan pemerintah. Hal ini harus menjadi koreksi pemerintah dalam mengaplikasikan kebijakan barunya di masa mendatang. Dengan tegas kedepannya para pemuda dapat merekonsruksi birokrasi di Indonesia menuju arah yang bersih, jujur dan transparan. Tak hanya sekedar isapan jempol belaka.

Ilustrasi 4: 1 Nusa, 1 Bangsa, 1 Bahasa Persatuan, INDONESIA! Sumber: Wordpress.


PONDASI BANGSA YANG BERNAMA PEMUDA

Sebagai pemuda, kita seharusnya mampu memilih masa depan kita sendiri. Ke arah manakah kedepannya kita akan melangkah. Berawal dari tekad dan niat bulat akan perubahan Indonesia yang lebih baik, berkaca dari masa lalu yang penuh intrik dan drama. Menatap masa depan dengan gelora semangat yang berapi-api, sehingga mampu menjawab tantangan masa depan. Sehingga dapat simpulkan, pemuda dapat berdaya guna dan berdaya cipta bilamana terdapat pembenahan di pelbagai bidang, diantaranya: pendidikan, lingkungan, dan ekonomi. Menyiapkan bekal perubahan sejak dini, agar tak berkesan sebagai pemimpin ‘siluman’ di Indonesia.

Dan ketika pertanyaan yang sama akan bagaimana kesanggupan menjawab tantangan masa depan, akan terjawab dengan lantang dan serentak dengan jawaban:
“Iya kami mampu, kami siap, kami akan tunjukkan pada dunia Indonesia sebagai bangsa yang mampu bersaing”.

Terlebih lagi Indonesia mulai memasuki era Bonus Demografi, yakni peningkatan usia produktif (15-34 tahun) dari dampak evolusi kependudukan yang ada di dalamnya. Dan proyeksi Indonesia pada tahun 2030 akan menjadi Negara maju oleh beberapa ahli. Ini semua menjadi tantang tersendiri bagi pemuda, mengkolaborasikan semangat juang ’45 dengan perkembangan hidup di era globalisasi dan modern ini.

Sebagi renungan, mengutip dari pidato Ir. Soekarno, presiden pertama Indonesia sekaligus the founding father Indonesia, di Semarang 29 Juli 1956 beliau berkata:
“Negeri kita kaya, kaya-raya. Saudara-saudara . Berjiwa besarlah, berimagination. Gali! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu tanah air yang paling cantik di dunia”.
Mari kita bersama sebagai generasi penakluk masa depan berjalan bersama, menyatukan visi dan misi pembawa perubahan yang signifikan. Terlepas dari belenggu kekurangan yang kian mencekik moralitas bangsa bila tidak segera dibenahi. Menyuarakan semangat bahwasannya, “Kita bisa!”. Berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila, bersemboyankan “Bhineka Tunggal Ika”, didasari asas kekeluargaan, jujur, bersih, transparan, serta dibentengi dengan manajemen yang baik. Ini semua akan menjadi senjata utama pemuda Indonesia menjadi pemimpin futuristik.

Salam Pemuda! Semangat Perubahan!




Surabaya, 27 Februari 2014
Muhammad Fathur Rosiy –16 tahun, pelajar semester 4 bidang kejuruan Teknik Gambar Bangunan di SMK Negeri 5 Surabaya–

Tulisan ini dibuat dengan tujuan mengikuti kompetisi blog piala Dino Patti Djalal. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan.

3 komentar: