![]() |
Ilustrasi 1: Penambang belerang di Kawah Ijen, Indonesia. Sumber: The Baltimore Sun. |
Indonesia, negeri dengan
kekayaan alam yang tiada batasnya. Menjadi Negara maritim terbesar di
dunia, dengan panjang pantainya yang mencapai 93.000 km. Tersusun
dari gugusan pulau yang terbentang luas dari Sabang hingga Merauke,
menjadi permata dunia yang telah diciptakan oleh Tuhan. Penduduk yang
telah melebihi angka 220 juta jiwa, dengan komponen pemuda kurang
lebih sebesar 30% dari jumlah total penduduk Indonesia. Menjadikan
tantangan sendiri bagi pemuda untuk menjaga keutuhan tanah
kelahirannya, Indonesia, mengembangkan dan mengembangkan potensi yang
ada.
Pelbagai permasalahan pun
timbul sejalan dengan roda kehidupan yang terus berputar. Mulai dari
permasalah kecil hingga permasalahan besar yang tak kunjung mereda.
Permasalahan pluralisme, pendidikan, ekonomi dan kesehatan, misalnya.
Indonesia masih belum tuntas menangani ini semua. Meskipun telah
dicanangkan berbagai upaya pengentasan masalah, baik berjangka pendek
maupun berjangka panjang. Permasalahan ini bak rumah, memiliki atap
yang bocor namun lamban untuk dibenahi, sehingga membuat resah
penghuninya saat panas dan hujan datang menyergap. Masalah ini
menjadi pekerjaan rumah bagi pemuda Indonesia, dimana kelak mereka
akan menggantikan mereka yang kini berkutat di panggung pemerintahan.
Menjadi wakil penampung aspirasi rakyat.
Ketika pemuda ditanya
mengenai bagaimana kesanggupan mereka mengemban amanat pemecah
tantangan masa depan. Pasti mereka dengan lantang dan serentak akan
menjawab:
“Kami siap, namun kami masih belum memiliki bekal —pengetahuan dan pengalaman— guna memimpin masa depan”.
Hal ini dipertegas dengan
maraknya permasalahan dari pemuda sendiri yang masih acak-aduk, belum
memiliki titik tengahnya. Penggunaan obat-obatan terlarang, seks
bebas dan kenakalan lainnya, misalnya. Masih menjadi momok bagi
lika-liku kehidupan pemuda di Indonesia. Bila ditilik dari alasan
mengapa hingga mereka masuk ke jurang nestapa, sungguh banyak sekali,
seperti: pendidikan yang tak memadai, lingkungan yang tak sesuai, dan
ekonomi yang tak mencukupi.
Dibalik semua
permasalahan ini, seyogyanya terdapat solusi
sebagai amunisi persenjataan pemuda dalam menatap masa depan.
Menurut pendapat penulis sendiri, amunisi utamanya
adalah merekonstruksi jati diri pemuda sebagai bangsa Indonesia yang
kini telah mengalami degradasi moral, lupa akan sejarah yang terukir
dan jati diri yang telah disemboyankan nenek moyang kita.
Rekonstruksi jati diri bangsa Indonesia penting dicanangkan sejak
dini. Kembali mengingat tentang keberagaman yang
ada di Indonesia, dengan mempertimbangkan persamaan hak dan kewajiban
yang setara.
![]() |
Ilustrasi 2: Semangat pelajar Indonesia dalam mengenyam pendidikan. Sumber: Blogger. |
PENDIDIKAN
PENENTU MUTU KUALITAS PEMUDA
Dimulai dari pembenahan
tatanan pendidikan. Pengawasan aliran dana
yang wajibnya disalurkan ke beberapa
institusi pendidikan sebaiknya diperketat kembali, agar tidak ada
celah dalam penyalahgunaan penyaluran dana. Bantuan Operasional
Siswa, misalnya, tak sesuai dengan dana yang digelontorkan dengan
realitas yang ada. Ada saja sekolah yang tak
memiliki sokongan infrastruktur yang memadai, terkecuali
sekolah-sekolah yang mematok biaya selangit bagi peserta didiknya.
Diskriminasi si kaya dan si miskin tetap ada, mereka yang kaya
akan mengenyam pendidikan yang layak dan mereka yang miskin akan
mengenyam pendidikan dalam keterbatasan.
Peningkatan mutu pengajar
dikira perlu, memupuk motivasi peserta didik dalam menempuh
pendidikan formal di sekolah maupun perguruan tinggi. Dilihat dari
fakta di lapangan, banyak tenaga pengajar yang terkesan ‘makan gaji
buta’. Kurikulum yang masih belum sesuai dengan kondisi Indonesia
yang hidup dalam keberagaman. Misalnya, bila kurikulum Indonesia
disetarakan miris nian melihat kondisi pendidikan di pelosok
Indonesia yang berat dalam menerima pengetahuan yang setara dengan
mereka yang belajar di kota. Kurikulum pun belum spesifik dalam
menangkap peluang potensi yang terkandung di Indonesia, mengapa tidak
diterapkan kurikulum berbasis maritim di area pesisir mengingat
Indonesia pernah memiliki kerajaan maritim terbesar dan terkuat pada
masanya –kerajaan Sriwijaya–. Atau kurikulum berbasis perkebunan
dan pertanian di area pegunungan mengingat masih banyak petani yang
terus dibodohi dan masih hidup dalam garis kemiskinan. Terlepas dari
pengelompokkan kurikulum ini, kurikulum umum tetap dijalankan dengan
alasan ilmu eksak yang sangat penting
dipahami.
Sekolah juga
harus mampu menciptakan kegiatan positif bagi pelajarnya.
Penyelenggaraan pekan seni budaya, misalnya. Sangat bermanfaat guna
menelorkan bibit unggul dalam bidang seni dan budaya, dimana kelak
mereka mampu melestarikan dan menjaga khazanah budaya yang ada di
Indonesia.
Legalitas institusi
pendidikan diperlukan agar kedepannya tidak ada lagi kasus ‘ijazah
bodong’ yang meresahkan rakyat, terlebih lagi wakil rakyat yang
duduk di singgasana parlemen menggunakan ‘ijazah bodong’ demi
jabatan sementara yang sarat akan kepalsuan kepemimpinan.
Namun kita patut
berbangga diri, karena masih ada para pengajar muda yang
mendedikasikan hidupnya untuk meningkatan mutu pendidikan di daerah
pelosok.
Kini hidup
kita di abad 21 telah memasuki era yang serba mudah, tapi entah
kenapa masih terkesan apa serba kuno. Bila kita dapat mengoptimalkan
internet sebagai media pembelajaran, E-Learning merupakan media yang
tepat. Sebagai penyalur edukasi yang dapat diakses dimana saja, kapan
saja dan oleh siapa saja, asalkan memiliki koneksi internet yang
memadai. E-Learning sangat bermanfaat bagi pelajar, mereka dapat
belajar tidak hanya dalam kelas saja, duduk dan mendengarkan
penjelasan dari guru yang terkesan monoton.
LINGKUNGAN,
PEMBENTUK KARAKTER PEMUDA
Dari segi lingkungan
–lingkungan tempat tinggal, berteman, bekerja, sekolah, dan alam–
membawa pengaruh penting dalam peranan jati diri pemuda dalam
menentukan masa depannya. Apalagi bagi mereka yang tak kuat iman,
mengalir begitu saja bak air yang tak tahu arah dan tujuannya. Disini
peran orang tua sebagai pembekalan awal pemuda,
diperlukan peran aktifnya dengan intensif dalam mengawal
perkembangan anak hingga mereka dapat mandiri dengan bekal yang
bermanfaat dari orang tua. Sebagai contoh, orang tua yang menerapakan
sistem disiplin waktu yang kuat menyebabkan di kemudian hari akan
terbiasa dengan hidup yang disiplin, sebaliknya orang tua yang
menerapkan sistem foya-foya menyebabkan kelak akan terbiasa dengan
hidup yang tak ramah lingkungan cenderung hanya menghamburkan uang
saja.
Disini iman kita diuji
sampai mana kita mampu memegang teguh kebenaran atau malah jatuh
dalam jurang kebodohan. Kita patut meniru keteladanan Jendral
Hoegeng, mantan pemimpin kepolisian Republik Indonesia, yang gigih
dan bersih dalam memberantas korupsi tanpa memandang bulu. Meskipun
Jendral Hoegeng sendiri telah makmur dengan tahta yang melimpah,
beliau menolak dengan tegas fasilitas yang diberikan oleh Negara.
Lingkungan tempat
tinggal, berteman, bekerja dan sekolah yang getol menjadi saran
bersosialisasi di masyarakat tak kalah penting. Sama halnya dengan
peran orang tua, lingkungan bersosialisasi tergantung pada falsafat
yang diterapkan pada suatu lingkungan tersebut. Tak banyak juga orang
hebat di Indonesia yang hidupnya berawal dari keterbatasan, sebagai
contoh: Jokowi, Dahlan Iskan, dan masih banyak lagi.
Kualitas kepemimpinan
dibibit sejak dini. Di lingkungan tempat tinggal dan sekitar, pemuda
dapat memumpuk rasa menjadi pemimpinnya di beberapa lembaga sosial
masyarakat, seperti karang taruna, remas, dan masih banyak lagi. Di
lingkungan sekolah ilmu kepemimpinan dapat dipupuk dari organisasi
internal sekolah dan ekstrernal. Baik itu OSIS –Organisasi Siswa
Intern Sekolah– maupun ekstrakulikuler yang menunjang penyaluran
minat dan bakat yang dimiliki pemuda. Jaman
sekarang ini sulit menemukan pemimpin yang benar-benar
memiliki passion seorang pemimpin teladan, untung saja masih
saja ada sosok seperti Ibu Tri Rismaharini, Walikota Surabaya, yang
kekeh dengan kebenaran yang harus ditegakkan demi kepentingan
bersama, yakni kepenting rakyat.
Perlu
mengingat karakter dan watak seorang pemuda diasah melalui lingkungan
dimana ia hidup. Sejauh mana mereka dapat memfilter kondisi
lingkungannya merupakan tanggung bersama, tak ada lagi kesan citra
buruk suatu kawasan bilamana mereka telah mampu mengakomodasi
kekurangan yang ada di kawasan tersebut menjadi suatu potensi yang
dapat dibanggakan.
![]() |
Ilustrasi 3: Taufik Hidayat, pebulu tangkis Indonesia. Sumber: Klikbadminton. |
PEMBANGUNAN
NASIONAL, BUKAN HANYA IMPIAN
Pembangunan nasional yang
belum merata menimbulkan diferensiasi sosial. Yang kaya kian makmur,
yang miskin kian hancur. Pelbagai program pemerintah diterapkan
disana-sini, mulai dari pengentasan kemiskinan dan optimalisasi
kesehatan masyarakat. Indonesia yang telah merdeka enam dasawarsa
silam, masih saja sama dengan masa penjajahan. Pembedanya hanyalah,
siapa yang menjajah saja. Dulu kita dijajah oleh bangsa lain,
sekarang kita dijajah oleh bangsa senidiri bak pagar makan tanaman.
Undang-undang yang sebetulnya menguatkan identitas bangsa kini
cenderung hanya peraturan yang dianggap sebelah mata, menjadi bumbu
pelengkap pemerintahan. Dari sini pula, muncul permasalahan di bidang
sosial-ekonomi, seperti pengangguran dan tindak kriminalitas akibat
rendahnya ekonomi suatu keluarga.
Penyediaan beberapa modal
baik berupa materi maupun non-materi oleh pemerintah bagi penggiat
usaha di Indonesia, dari sektor kecil, menengah bahkan besar dalam
meningkatkan tingkat ekonomi bangsa. Penggiat usaha besar pun
berkewajiban untuk mengayomi mereka yang masih berada jauh di
bawahnya. Dengan memfalitasi penggiat usaha kecil di bidang modal
produksi, pemasaran hingga publisitas. Sehingga tak ada lagi kesan
tertindas dan kalah daya saing bagi penggiat usaha kecil.
Kekayaan alam yang
melimpah tak dapat bersinergi dalam pembangunan nasional. Banyak
pengusaha asing yang mengeksplorasi alam Indonesia, menjadikannya
tuan rumah di negeri orang. Berbeda dengan rakyat yang hanya menjadi
buruh, penonton di negerinya sendiri. Pemuda sebaiknya mampu
mengembalikan dan mengelola dengan baik alam yang terbentang luas di
Indonesia, dengan berprinsip “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat”. Niscaya bumi pertiwi tak akan menangis lagi.
Selain itu, pemerintah
juga masih belum dapat mewadahi pemuda yang berprestasi. Masih banyak
atlet yang tak dihargai jerih payahnya mengharumkan nama Indonesia di
kanca regional, nasional, maupun internasional. Ada saja,
atlet yang diperhatikan pada masa produktifnya dan
terbengkalai saat masa tuanya yang telah merenggut
tenaga dan semangat mudanya. Membuat kesan mantan
atlet dipandang remeh oleh pemerintah. Tak hanya atlet, para
ahli di pelbagai bidang pun yang rela
melancong dan mencoba peruntuhan di negeri orang karena di negeri
sendiri mereka tak dianggap dan kurang didukung.
Sesuai peribahasa, “Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput
sendiri”.
Belum lagi birokrasi di
Indonesia yang ‘ribet’, entah itu dari kurangnya sosialisasi
program pemerintah atau rakyat yang kurang pro-aktif dengan kebijakan
pemerintah. Hal ini harus menjadi koreksi pemerintah dalam
mengaplikasikan kebijakan barunya di masa mendatang. Dengan tegas
kedepannya para pemuda dapat merekonsruksi birokrasi di Indonesia
menuju arah yang bersih, jujur dan transparan. Tak
hanya sekedar isapan jempol belaka.
![]() |
Ilustrasi 4: 1 Nusa, 1 Bangsa, 1 Bahasa Persatuan, INDONESIA! Sumber: Wordpress. |
PONDASI
BANGSA YANG BERNAMA PEMUDA
Sebagai pemuda, kita
seharusnya mampu memilih masa depan kita sendiri. Ke arah manakah
kedepannya kita akan melangkah. Berawal dari tekad dan niat bulat
akan perubahan Indonesia yang lebih baik, berkaca dari masa lalu
yang penuh intrik dan drama. Menatap masa depan dengan gelora
semangat yang berapi-api, sehingga mampu menjawab tantangan masa
depan. Sehingga dapat simpulkan, pemuda dapat berdaya guna dan
berdaya cipta bilamana terdapat pembenahan di pelbagai bidang,
diantaranya: pendidikan, lingkungan, dan ekonomi. Menyiapkan bekal
perubahan sejak dini, agar tak berkesan sebagai pemimpin ‘siluman’
di Indonesia.
Dan ketika pertanyaan
yang sama akan bagaimana kesanggupan menjawab tantangan masa depan,
akan terjawab dengan lantang dan serentak dengan jawaban:
“Iya kami mampu, kami siap, kami akan tunjukkan pada dunia Indonesia sebagai bangsa yang mampu bersaing”.
Terlebih lagi Indonesia
mulai memasuki era Bonus Demografi, yakni peningkatan usia produktif
(15-34 tahun) dari dampak evolusi kependudukan yang ada di dalamnya.
Dan proyeksi Indonesia pada tahun 2030 akan menjadi Negara maju oleh
beberapa ahli. Ini semua menjadi tantang tersendiri bagi pemuda,
mengkolaborasikan semangat juang ’45 dengan perkembangan hidup di
era globalisasi dan modern ini.
Sebagi renungan, mengutip
dari pidato Ir. Soekarno, presiden pertama Indonesia sekaligus the
founding father Indonesia, di Semarang 29 Juli 1956 beliau
berkata:
“Negeri kita kaya, kaya-raya. Saudara-saudara . Berjiwa besarlah, berimagination. Gali! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu tanah air yang paling cantik di dunia”.
Mari kita bersama sebagai
generasi penakluk masa depan berjalan bersama, menyatukan visi dan
misi pembawa perubahan yang signifikan. Terlepas dari belenggu
kekurangan yang kian mencekik moralitas bangsa bila tidak segera
dibenahi. Menyuarakan semangat bahwasannya, “Kita bisa!”.
Berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila, bersemboyankan “Bhineka
Tunggal Ika”, didasari asas kekeluargaan, jujur, bersih,
transparan, serta dibentengi dengan manajemen yang baik. Ini semua
akan menjadi senjata utama pemuda Indonesia menjadi pemimpin
futuristik.
Salam Pemuda! Semangat
Perubahan!
Muhammad Fathur Rosiy –16 tahun, pelajar semester 4 bidang kejuruan Teknik Gambar Bangunan di SMK Negeri 5 Surabaya–
Tulisan ini dibuat dengan tujuan mengikuti kompetisi blog piala Dino Patti Djalal. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan.
Nice Blog :)
BalasHapusSukses yaa....
Hmmm..
BalasHapusLumayannn -_-#
bagus sekali semoga generasi peneru membaca ini ^^
BalasHapusSukabumi || Solo || Malang